ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA SALURAN KEMIH
A. Konsep Trauma
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada.
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik.

B. Klasifikasi
1. Trauma ginjal
2. Trauma ureter
3. Ruptur buli-buli
4. Kontusio buli-buli
5. Trauma buli-buli
6. Trauma uretra
7. Trauma Testis

C. Etiologi
1. Trauma ginjal
Dapat disebabkan oleh trauma langsung baik tajam atau tumpul, di daerah perut bagian depan, samping maupun daerah lumbal. Dapat pula di akibatkan trauma tidak langsung seperti jatuh terduduk, jatuh berdiri dan kkontraksi otot perut yang berlebihan pada hidronefrosis.
a. Cedera dari luar
b. Rudapaksa tumpul
c. Fraktur /patah tulang panggul

2. Trauma ureter
a. Luka tembak atau tusuk.
b. Ruda paksa ureter disebabkan oleh ruda paksa tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenik terutama pada pembedahan rektum, uterus, pembuluh darah panggul atau tindakan endoskopik
3. Ruptur buli-buli
a. Cedera pada abdomen bagian bawah sewaktu kandung kemih penuh
b. Patah tulang panggul mengakibatkan ruptur buli-buli ekstra peritoneal
c. Cedera dinding perut
d. Cedera panggul yang menyebabkan patah tulang sehingga terjadi ruptur buli-buli retro atau intra peritoneal
4. Trauma buli-buli
a. Cedera dari luar
b. Rudapaksa tumpul
c. Fraktur /patah tulang panggul
5. Trauma uretra
a. Fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital.
b. Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial maupun total.
c. Jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara obyek yang keras dengan tulang simfisis.
d. Instrumentasi urologik seperti pemasangan kateter, brusinasi dan bedah endoskopi.
6. Trauma Penis
Pada luka tembak terjadi kerusakan ekstensif pada korpus kavernosum dengan banyak jaringan nekrotik dan perdarahan. Luka akibat benda tajam ditemukan baik karena percobaan bunuh diri, dipotong lawan jenis, digigit binatang atau iatrogenik pada sirkumsisi.
Pada avulsi biasanya kulit penis atau skrotum terlepas. Sedangkan pada strangulasi akan terjadi iskemia dan nekrosis penis pada bagian distal.
7. Trauma Testis
Testis terletak di dalam skrotum dan berada pada tempat yang cukup mobil (bergerak) sehingga relatif jarang terjadi ruptur walaupun sering mengalami kekerasan. Bila ruptur terjadi pada tunika albuginia di belakang tunika vaginali, tidak dijumpai ekimosis dan pembengkakan testis minimal. Bila arteriol di bawah tunika albuginia robek, hematokel bisa besar. Bila ruptur terjadi pada pertemuan tunika albuginia dan tunika vaginalis di dekat epididimis, perdarahan meluas dan timbul hematom skrotum.

D. Manifestasi Klinik
1. Trauma ginjal
· Pada rudapaksa tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan pada rudapksa tajam tampak luka.
· Pada palpasi di dapat nyeri tekan, ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba. Massa yang cepat meluas sering ditandai tanda kehilangan darah yang banyak merupakan tanda cedera vaskuler.
· Nyeri abdomen pada daerah pinggang atau perut bagian atas.
· Fraktur tulang iga terbawah sering menyertai cedera ginjal.
· Hematuria makroskopik atau mikroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih.
2. Trauma ureter
- Pada umumnya tanda dan gejala klinik umumnya tidak spesifik.
- Hematuria menunjukkan cedera pada saluran kemih.
- Bila terjadi ekstravasasi urin dapat timbul urinom pada pinggang atau abdomen, fistel uretero-kutan melalui luka atau tanda rangsang peritoneum bils urin masuk ke rongga intraperitoneal.
- Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.
3. Trauma buli-buli
- Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat.
- Nyeri suprapubik
- Ketegangan otot dinding perut bawah
- Hematuria
- Ekstravasasi kontras pada sistogram.
4. Ruptur buli-buli
- Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapt menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritoneum termasuk defans muskuler dan sindrome ileus paralitik.
- Ruptur ekstraperitoneal saluran kemih dapat menimbulkan gejala dan tanda infiltrasi urin retroperitoneal yang mudah menimbulkan septisemia.
5. Trauma uretra
- Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis.
- Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematom dan nyeri tekan.
- Terdapat tetes darah segar di meatus uretra
- Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil.
- Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema atau bekuan darah.
- Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam.
6. Trauma Penis
- Pada luka tembak tampak luka compang-camping, cedera daerah sekitarnya, jaringan nekrotik, perdarahan serta amputasi penis.
- Luka oleh benda tajam biasanya disertai perdarahan yang banyak, renjatan, pinggir luka tajam, atau amputasi penis.
- Pada luka avulsi akibat mesin, kulit penis dan skrotum terlepas.
- Pada strangulasi tampak bekas jepitan pada penis akibat kateter kondom atau balutan yang terlalu ketat.
- Pada cedera setelah aktivitas seksual tampak penis bengkok dan hemaotom pada penis dan skrotum.
7. Trauma testis
- Pada luka tembak, cedera ekstensif, luka compang-camping dan terdapat jaringan nekrosis serta cedera ikutan pada daerah sekitarnya.
- Pada rudapaksa tumpul, besarnya pembengkakan skrotum dan ekimosis bisa berbeda.
- Cedera akibat rudapaksa tajam segera setelah trauma biasanya penderita mengeluh sakit, mual, muntah, kadang sinkop.
- Terdapat tanda cairan atau darah di dalam skrotum.
- Ditemukan testis yang membesar dan nyeri

E. Penatalaksanaan
a. Trauma ginjal
§ Istirahat baring, sekurang-kurangnya sampai seminggu setelah hematuri berhenti, mobilisasi dilakukan bertahap, bila kemudian hematuri timbul lagi, penderita diistirahatkan lagi.
§ Perhatikan tanda vital dengan ketat. Amati pembesaran tumor di daerah pinggang dan nilai Ht untuk menduga pendarahan. Hematom di pinggang dapat mencapai 1-2 liter.
§ Awasi hematuri dengan menampung urin tiap 3 jam dan dideretkan pada rak, bila perdarahan berhenti maka tabung-tabung akhir berwarna makin coklat, bila tetap/makin rendah, perdarahan tetap berlangsung.
§ Antibiotik spektrum luas selama 2 minggu, karena bekuan darah sekitar ginjal dapat merupakan tempat berkembangnya bakteri.
§ Bila telah diyakini dapat ditangani secara konservatif, penderita dapat diberi minum banyak untuk meningkatkan diuresis sehingga bekuan darah dalam ginjal cepat keluar.
§ Bila perdarahan terus berlangsung dan keadaan umum memburuk, pikirkan tindakan bedah. Tergantung pada kelainan yang dijumpai dapat dilakukan penjahitan, nefrektomi parsiil atu total.

b. Trauma buli-buli
- Istirahat baring sampai hematuri makriskopik hilang.
- Minum banyak untuk meningkatkan diuresis. Bila penderita dapat miksi dengan lancar berarti tidak ada ruptur buli-buli ataupun uretra.
- Bila hematuria berat dan menetap sampai 5-6 hari pasca trauma, buat sistrogram untuk mencari penyebab lain.
- Obat- obatan : Antibiotik: Ampisilin 4x 250-500 mg/ hari per oral. Hemostatik: Adona AC- 17 per oral

c. Ruptur buli-buli
Pada jenis ekstraperitoneal akan timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi di daerah suprapubik akibat masuknya urin ke kavum Retzii. Benjolan ini sukar dibedakan dari hematom akibat patah tulang pelvis yang sering menyertai. Patah tulang pelvis dapat diketahui bila terasa nyeri waktu diadakan penekanan pada kedua krista iliaka.
Bila dalam 24 jam nyeri di daerah suprapubik makin meningkat di samping adanya anuri, diagnnosa ruptura buli-buli ekstraperitoneal dapat dibuat. Pada jenis intraperitoneal, urin masuk ke rongga perut sehingga perut makin kembung dan timbul tanda rangsang peritoneum. Mungkin juga terdapat nyeri suprapubik, tetapi tak terdapat benjolan dan perkusi pekak.

Pemeriksaan Pembantu:
1. Tes Buli- buli
Ø Buli- buli dikosongkan dengan kateter, lalu dimsukkan 300 ml larutan garam faal yang sedikit melebihi kapasitas buli- buli.
Ø Kateter di klem sebentar, lalu dibuka kembali, cairan yang keluar diukur kembali. Bila selisihnya cukup besar mungkin terdapat ruptur buli- buli.

Kekurangan dari tes ini adalah:
Ø Hasil negatif palsu bil daerah ruptura tertutup bekuan darah, usus atau omentum.
Ø Hasil positif palsu bila muara kateter terlalu tinggi atau kateter tersumbat bekuan darah sehingga selisih cairan tak bisa keluar.
Ø Sukar membedakan jenis ekstraperitoneal dengan intraperitoneal
Ø Bahaya infeksi dan peritonitis bila ada ruptur jenis intraperitoneal.

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Gangguan rasa nyaman: adanya rasa nyeri yang berlebihan pada daerah pinggang b.d adanya trauma pada ureter atau pada ginjal.
Data penunjang:
­ Letih yang berlebihan
­ Lemas, mual, muntah, keringat dingin
­ Hematoma, hematuri makroskopis/mikroskopis
Tujuan:
Rasa sakit dapat diatasi/hilang.
Kriteria:
· Kolik berkurang/hilang
· Pasien tidak mengeluh sakit
· Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Rencana Tindakan
­ Kaji intensitas, lokasi dan area serta penjalaran dari rasa sakit
­ Observasi adanya abdominal pain
­ Jelaskan kepada pasien penyebab dari rasa sakit
­ Anjurkan pasien banyak minum
­ Berikan posisi serta lingkungan yang nyaman
­ Ajarkan tehnik relaksasi, teknik distorsi serta guide imagine untuk menghilangkan rasa sakit tanpa obat-obatan.
­ Kerjasama dengan tim kesehatan:
· Pemberian obat-obatan narkotika
· Pemberian anti spasmotika

2. Resiko deficit volume cairan b.d perdarahan saluran kemih
Tujuan :
cairan tubuh tetap seimbang
Kriteria :
- Vital signs dalam batas normal
- Tidak terdapat hematuri
- Pemeriksaan laboratorium hematologis dalam batas normal (Hb, ht)
Intervensi :
- Atur posisi tidur klien (pre Syok)
- Monitor TTV
- Monitor urin output
- Berikan cairan oral untuk meningkatkan deuresis
- Kerjasama dengan tim kesehatan :
- Antibiotik
- Hemostatik
- Pembedahan

Baca Selengkapnya......
date Kamis, 06 Mei 2010

ASKEP KLIEN DENGAN STRIKTUR URETRA
A. PENGERTIAN
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan perut dan kontraksi. (C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)
Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra. (C. Long , Barbara;1996 hal 338

B. PENYEBAB
Striktur uretra dapat terjadi secara:
a. Kongenital
Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan anomali saluran kemih yang lain.
b. Didapat.
• Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi)
• Cedera akibat peregangan
• Cedera akibat kecelakaan
• Uretritis gonorheal yang tidak ditangani
• Infeksi
• Spasmus otot
• Tekanan dai luar misalnya pertumbuhan tumor
(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468 dan C. Long , Barbara;1996 hal 338)

C. MANIFESTASI KLINIS
• Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang
• Gejala infeksi
• Retensi urinarius
• Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis dan pielonefritis
(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)

Derajat penyempitan uretra:
a. Ringan: jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen.
b. Sedang: oklusi 1/3 s.d 1/2 diameter lumen uretra.
c. Berat: oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Ada derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
(Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 )

D. PENCEGAHAN
Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi uretral dengan tepat. Pemakaian kateter uretral untuk drainase dalam waktu lama harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus dilakukan pada setiap jenis alat uretral termasuk kateter.
(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)

E. PENATALAKSANAAN
a. Filiform bougies untuk membuka jalan jika striktur menghambat pemasangan kateter
b. Medika mentosa
Analgesik non narkotik untuk mengendalikan nyeri.
Medikasi antimikrobial untuk mencegah infeksi.
c. Pembedahan
• Sistostomi suprapubis
• Businasi ( dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati.
• Uretrotomi interna : memotong jaringan sikatrik uretra dengan pisau otis/sachse. Otis dimasukkan secara blind ke dalam buli–buli jika striktur belum total. Jika lebih berat dengan pisau sachse secara visual.
• Uretritimi eksterna: tondakan operasi terbuka berupa pemotonganjaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis diantara jaringan uretra yang masih baik.
(Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 dan Doenges E. Marilynn, 2000 hal 672)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, penampilan keruh, pH : 7 atau lebih besar, bakteria.
b. Kultur urin: adanya staphylokokus aureus. Proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli.
c. BUN/kreatin : meningkat
d. Uretrografi: adanya penyempitan atau pembuntuan uretra. Untuk mengetahui panjangnya penyempitan uretra dibuat foto iolar (sisto) uretrografi.
e. Uroflowmetri : untuk mengetahui derasnya pancaran saat miksi
f. Uretroskopi : Untuk mengetahui pembuntuan lumen uretra
(Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 dan Doenges E. Marilynn, 2000 hal 672)

G. PENGKAJIAN
1. Sirkulasi
Tanda: peningkatan TD ( efek pembesaran ginjal)
2. Eliminasi
Gejala: penurunan aliran urin, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan frekurnsi berkemih
Tanda: adanya masa/sumbatan pada uretra
3. Makanan dan cairan
Gejala; anoreksia;mual muntah, penurunan berat badan
4. Nyeri/kenyamanan
Nyeri suprapubik
5. Keamanan : demam
6. Penyuluhan/pembelajaran

(Doenges E. Marilynn, 2000 hal 672)


DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1. Nyeri b.d insisi bedah sitostomi suprapubik
Tujuan : nyeri berkurang/ hilang
Kriteria hasil:
a. Melaporkan penurunan nyeri
b. Ekspresi wajah dan posisi tubuh terlihat relaks
Intervensi:
• Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama dan faktor pencetus dan penghilang nyeri
• Kaji tanda nonverbal nyeri ( gelisah, kening berkerut, mengatupkan rahang, peningkatan TD)
• Berikan pilihan tindakan rasa nyaman
Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman
Ajarkan tehnik relaksasi dan bantu bimbingan imajinasi
• Dokumentasikan dan observasi efek dari obat yang diinginkan dan efek sampingnya
• Secara intermiten irigasi kateter uretra/suprapubis sesuaiadvis, gunakan salin normal steril dan spuit steril
Masukkan cairan perlahan-lahan, jangan terlalu kuat.
Lanjutkan irigasi sampai urin jernih tidak ada bekuan.
• Jika tindakan gagal untuk mengurangi nyeri, konsultasikan dengan dokter untuk penggantian dosis atau interval obat.

2. Perubahan pola eliminasi perkemihan b.d sitostomi suprapubik
Kriteria hasil:
a. kateter tetap paten pada tempatnya
b. Bekuan irigasi keluar dari dinding kandung kemih dan tidak menyumbat aliran darah melalui kateter
c. Irigasi dikembalikan melalui aliran keluar tanpa retensi
d. Haluaran urin melebihi 30 ml/jam
e. Berkemih tanpa aliran berlebihan atau bila retensi dihilangkan
Intervensi:
• Kaji uretra dan atau kateter suprapubis terhadap kepatenan
• Kaji warna, karakter dan aliran urin serta adanya bekuan melalui kateter tiap 2 jam
• Catat jumlah irigan dan haluaran urin, kurangi irigan dengan haluaran , laporkan retensi dan haluaran urin <30 ml/jam
• Beritahu dokter jika terjadi sumbatan komplet pada kateter untuk menghilangkan bekuan
• Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu sesuai instruksi
• Gunakan salin normal steril untuk irigasi
• Pertahankan tehnik steril
• Masukkan larutan irigasi melalui lubang yang terkecil dari kateter
• Atur aliran larutan pada 40-60 tetes/menit atau untuk mempertahankan urin jernih
• Kaji dengan sering lubang aliran terhadap kepatenan
• Berikan 2000-2500 ml cairan oral/hari kecuali dikontraindikasikan

3. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah sitostomi suprapubik
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Hasil yang diharapkan:
a. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
b. Insisi bedah kering, tidak terjadi infeksi
c. Berkemih dengan urin jernih tanpa kesulitan
Intervensi:
• Periksa suhu setiap 4 jam dan laporkan jikadiatas 38,5 derajat C
• Perhatikan karakter urin, laporkan bila keruh dan bau busuk
• Kaji luka insisi adanya nyeri, kemerahan, bengkak, adanya kebocoran urin, tiap 4 jam sekali
• Ganti balutan dengan menggunakan tehnik steril
• Pertahankan sistem drainase gravitas tertutup
• Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan
• Pantau dan laporkan jika terjadi kemerahan, bengkak, nyeri atau adanya kebocoran di sekitar kateter suprapubis.
(M. Tucker, Martin;1998)

DAFTAR PUSTAKA :

1. Wim de, Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Alih bahasa R. Sjamsuhidayat Penerbit Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997

2. Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Bandung, Yayasan IAPK pajajaran, 1996

3. M. Tucker, Martin, Standart Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 3, Jakarta, EGC,1998

4. Susanne, C Smelzer, Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi VIII, Volume 2, Jakarta, EGC, 2002

5. Basuki B. purnomo, Dasar-Dasar Urologi, Malang, Fakultas kedokteran Brawijaya, 2000

6. Doenges E. Marilynn, Rencana Asuhan keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta. EGC. 2000

Baca Selengkapnya......
date

ASKEP HIPERTROPI PROSTAT
Pengertian Hipertropi Prostat

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

Etiologi

Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran kelenjar prostat, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut. Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia, yaitu :

Teori Sel Stem (Isaacs 1984)
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.

Teori MC Neal (1978)
Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona periurethral.

Teori Di Hidro Testosteron (DHT)
Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding. Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal. Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH). Sekitar 2 % testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon yang bebas inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT – reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA) yang dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi proliferasi sel (MC Connel 1990). Perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen dapat terjadi dengan bertambahnya usia  50 tahun ke atas.

Anatomi Dan Fisiologi

Spincter externa mengelilingi urethra di bawah vesica urinaria pada wanita, tetapi pada laki-laki terdapat kelenjar prostat yang berada dibelakang spincter penutup urethra. Prostat mengekskresikan cairannya ke dalam urethra pada saat ejakulasi, cairan prostat ini memberi makanan kepada sperma. Cairan ini memasuki urethra pars prostatika dari vas deferens.
Prostat dilewati oleh :

a. Ductus ejakulatorius, terdiri dari 2 buah berasal dari vesica seminalis bermuara ke urethra.
b. Urethra itu sendiri, yang panjangnya 17 – 23 cm.
Secara otomatis besarnya prostat adalah sebagai berikut :
a. Transversal : 1,5 inchi
b. Vertical : 1,25 inchi
c. Anterior Posterior : 0,75 inchi
Prostat terdiri dari 5 lobus yaitu :
a. Dua lobus lateralis
b. Satu lobus posterior
c. Satu lobus anterior
d. Satu lobus medial
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari besar, letaknya di bawah kandung kemih.
Normal beratnya prostat pada orang dewasa diperkirakan 20 gram.

Patofisiologi

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Adanya obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah, dan rasa belum puas selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersentivitas otot detrusor, berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Keadaan ini membuat sistem scoring untuk menentukan beratnya keluhan klinik penderita hipertropi prostat.
Apabila vesica menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi.
Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urine, sehingga tekanan vesika terus meningakat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks Retensi kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi.
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid. Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis.
Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu (a) rectal grading (b) clinical grading dan (c) intra urethra grading.

Rectal grading
Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :
0 – 1 cm……….: Grade 0
1 – 2 cm……….: Grade 1
2 – 3 cm……….: Grade 2
3 – 4 cm……….: Grade 3
Lebih 4 cm…….: Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection) Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka secara trans vesical.

Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine. Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
Sisa urine >150 cc………………… Grade 3
Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4
Intra urethra grading
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.
Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat:

Terhadap urethra
Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra pars prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius maka perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.
Terhadap vesica urinaria
Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang mengalami depresi (lekukan) yang disebut potensial divertikula.
Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada otot-otot tersebut.
Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post prostatika pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kemih dibelakang medial lobe.
Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine yang tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya batu-batu di kandung kemih.
Terhadap ureter dan ginjal
Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas, akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.
Terhadap sex organ
Mula-mula libido meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.

Gejala Klinik

Terbagi 4 grade yaitu :
Pada grade 1 (congestic)

1.)Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai mengedan.
2.)Kalau miksi merasa puas.
3.)Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
4.)Nocturia
5.)Urine keluar malam hari lebih dari normal.
6.)Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
7.)Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)

Pada grade 2 (residual)
8.)Bila miksi terasa panas.
9.)Dysuri nocturi bertambah berat.
10.)Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
11.)Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
12.)Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
13.)Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).

Pada grade 3 (retensi urine)
14.)Ischuria paradosal.
15.)Incontinensia paradosal.

Pada grade 4
16.)Kandung kemih penuh.
17.)Penderita merasa kesakitan.
18.)Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.
19.)Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor, karena bendungan yang hebat.
20.)Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40 – 410 C.
21.)Selanjutnya penderita bisa koma.

Diagnostik test

Diagnosa klinik pembesaran prostat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sebagai berikut :

a. Anamnese yang baik
b. Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan rectal toucher, dimana pada pembesaran prostat jinak akan teraba adanya massa pada dining depan rectum yang konsistensinya kenyal, yang kalau belum terlalu besar masih dapat dicapai batas atasnya dengan ujung jari, sedang apabila batas atasnya sudah tidak teraba biasanya jaringan prostat sudah lebih dari 60 gr.
c. Pemeriksaan sisa kemih
d. Pemeriksaan ultra sonografi (USG)
Dapat dilakukan dari supra pubic atau transrectal (Trans Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk keperluan klinik supra pubic cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi prostat, sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi keganasan.
e. Pemeriksaan endoskopy
Bila pada pemeriksaan rectal toucher, tidak terlalu menonjol tetapi gejala prostatismus sangat jelas atau untuk mengetahui besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.
f. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan radiology seperti foto polos perut dan pyelografi intra vena yang sering disebut IVP (Intra Venous Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada pemeriksaan lain pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).
g. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
h. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
i. Pemeriksaan lain
Secara spesifik untuk pemeriksaan pembesaran prostat jinak belum ada, yang ada ialah pemeriksaan penanda adanya tumor untuk karsinoma prostat yaitu pemeriksaan Prostatic Spesifik Antigen (PSA), angka penggal PSA ialah 4 nanogram/ml.

Diagnosa banding

Oleh karena adanya proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi urethra yang merupakan faktor dalam kesulitan miksi. Kelemahan detrusor disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik) misalnya : Lesi medulla spinalis, penggunaan obat penenang. Kekakuan leher vesica disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi urethra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di urethra atau striktur urethra.

Pengobatan

Setiap kesulitan miksi yang diakibatkan dari salah satu faktor seperti berkurangnya kekuatan kontraksi detrusor atau menurunya elastisitas leher vesica, maka tindakan pengobatan ditujukan untuk mengurangi volume prostat, mengurangi tonus leher vesica atau membuka urethra pars prostatica dan menambah kekuatan kontraksi detrusor agar proses miksi menjadi mudah.

Pengobatan untuk hipertropy prostat ada 2 macam :
a.Konsevatif
b.Operatif

Dalam pengobatan ini dilakukan berdasarkan pembagian besarnya prostat, yaitu derajat 1 – 4.
a.Derajat I
Dilakukan pengobatan koservatif, misalnya dengan fazosin, prazoin dan terazoin (untuk relaksasi otot polos).
b.Derajat II
Indikasi untuk pembedahan. Biasanya dianjurkan resekesi endoskopik melalui urethra.
c.Derajat III
Diperkirakan prostat cukup besar dan untuk tindakan yang dilakukan yaitu pembedahan terbuka melalui transvesical, retropubic atau perianal.
d.Derajat IV
Membebaskan penderita dari retensi urine total dengan memasang catheter, untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam pelaksanaan rencana pembedahan.

Konservatif.

Pengobatan konservatif ini bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan, misalnya : menolak operasi atau adanya kontra indikasi untuk operasi.

Tindakan terapi konservatif yaitu :
a.Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
b.Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.

Operatif
Pembedahan merupakan pengobatan utama pada hipertropi prostat benigna (BPH), pada waktu pembedahan kelenjar prostat diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang mengalami pembesaran diangkat melalui 4 cara yaitu (a) transurethral (b) suprapubic (c) retropubic dan (d) perineal.

Transurethral.
Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter.
Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih.
Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur dengan garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih dari ekuan darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih.

Suprapubic Prostatectomy.
Metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat diangkat dari urethra lewat kandung kemih.

Retropubic Prostatectomy
Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.

Perianal prostatectomy.
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat diantara scrotum dan rectum.

Komplikasi

a.Perdarahan
b.Inkotinensia
c.Batu kandung kemih
d.Retensi urine
e.Impotensi
f.Epididimitis
g.Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
h.Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
i.Hydronefrosis

Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien setelah pulang dari rumah sakit adalah ;
latihan berat, mengangkat berat dan sexual intercourse dihindari selama 3 minggu setelah dirumah.
Tidak boleh membawa kendaraan.
Mengedan pada saat defekasi harus dihindari, faeces harus lembek kalau perlu pemberian obat untuk melembekkan faeces.
Menganjurkan banyak minum untuk mencegah statis dan infeksi dan membuat faeces lembek.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.

Pengkajian Keperawatan
Pengumpulan data
Data dasar yang berhubungan dengan post operasi hipertropi prostat. Mengelompokkan data merupakan langkah yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data yang diperoleh sebagai berikut :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Pusing.
Perubahan frekuensi berkemih.
Urgensi.
Dysuria
Flatus negatif.
Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Retensi, kandung kemih penuh.
Inkontinensia
Bibir kering.
Puasa.
Bising usus negatif.
Ekspresi wajah meringis.
Pemasangan catheter tetap.
Gelisah.
Informasi kurang.
Urine berwarna kemerahan.

Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah pada pasien post operasi hipertropi prostat, adalah sebagai berikut :
Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi catheter/balon.
Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat selama pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah.
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / tekanan dari balon kandung kemih.
Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital).
Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

Perencanaan Keperawatan

Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi catheter/balon, ditandai dengan :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Perubahan frekuensi berkemih.
Urgensi.
Dysuria.
Pemasangan catheter tetap.
Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :
Catheter tetap paten pada tempatntya.
Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.
Berkemih tanpa aliran berlebihan.
Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.
Intervensi :
Kaji haluaran urine dan sistem catheter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
Rasional :
Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter dilepas.
Rasional :
Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethral dan kehilangan tonus.
Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2 – 4 jam.
Rasional :
Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.
Rasional :
Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus otot kandung kemih membaik.
Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.
Rasional :
Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.
Rasional :
Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk mempertahankan patensi catheter/aliran urine.

Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :
Pusing.
Flatus negatif.
Bibir kering.
Puasa.
Bising usus negatif.
Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :
Tanda-tanda vital normal.
Nadi perifer teraba.
Pengisian kapiler baik.
Membran mukosa baik.
Haluaran urine tepat.
Intervensi :
Benamkan catheter, hindari manipulasi berlenihan.

Rasional :
Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah.
Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional :
Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi kandung kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
Evaluasi warna, komsistensi urine.
Rasional :
Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.
Awasi tanda-tanda vital
Rasional :
Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan sindrom TURP, memerlukan intervensi medik segera.
Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht, jumlah sel darah merah)
Rasional :
Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.

Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai dengan :
Nyeri daerah tindakan operasi.
Dysuria.
Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Pemasangan catheter tetap.
Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria :
Tidak tampak tanda-tanda infeksi.
Inkontinensia tidak terjadi.
Luka tindakan bedah cepat kering.
Intervensi :
Berikan perawatan catheter tetap secara steril.
Rasional :
Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.
Ambulasi kantung drainase dependen.
Rasional :
Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
Awasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic sehubungan dengan instrumentasi.
Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional :
Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.
Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.
Rasional :
Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.

Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Luka tindakan operasi.
Ekspresi wajah meringis.
Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.
Intervensi :
Kaji tingkat nyeri.
Rasional :
Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan kita dalam memberikan tindakan.
Pertahankan posisi catheter dan sistem drainase.
Rasional :
Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih.
Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional :
Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan terpenuhi/adekuat, sehingga nyeri berkurang.
Berikan rendam duduk bila diindikasikan.
Rasional :
Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan penyembuhan.
Kolaborasi medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.
Rasional :
Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk memberikan/menurunkan spasme dan nyeri.
Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri sehingga tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.

Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital) ditandai dengan :
Tindakan pembedahan kelenjar prostat.
Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :
Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan orang terdekat.
Intervensi :
Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional :
Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur bedah radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6 – 8 minggu.
Diskusikan dasar anatomi.
Rasional :
Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten dan sterilitas biasanya tidak terjadi.
Instruksikan latihan perineal.
Rasional :
Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan fungsi seksual.
Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.
Rasional :
Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.

Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai dengan :
Gelisah.
Informasi kurang
Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria :
Klien tidak gelisah.
Tampak rileks
Intervensi :
Kaji tingkat anxietas.
Rasional :
Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.
Observasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.
Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Rasional :
Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.
Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional :
Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan

Pelaksanaan Asuhan Keperawatan.
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya (perencanaan tindakan keperawatan).

Evaluasi Keperawatan.
Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan prilaku pasien merupakan focus dari evaluasi tujuan, maka hasil evaluasi keperawatan dengan post operasi hipertropi prostat adalah sebagai berikut :
Pola eliminasi urine dapat normal.
Kriteria hasil :
Menunjukkan prilaku untuk mengendalikan refleks kandung kemih.
Pengosongan kandung kemih tanpa adanya penekanan/distensi kandung kemih/retensi urine.
Terpenuhinya kebutuhan cairan.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital normal
Nadi perifer baik/teraba.
Pengisian kapiler baik.
Membran mukosa lembab.
Haluaran urine tepat.
Mencegah terjadinya infeksi.
Kriteria hasil :
Tercapainya penyembuhan dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
Kriteria hasil :
Menunjukkan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai indikasi dan situasi individu.
Tampak rileks.
Fungsi seksual dapat dipertahankan.
Kriteria hasil :
Menyatakan pemahaman situasi individual
Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.
Klien mengerti/memahami tentang penyakitnya.
Kriteria hasil :
Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku yang perlu.
Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.

Sumber:

1.Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan – Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Editor : Monica Ester, Yasmin Asih, Edisi : Ketiga, EGC ; Jakarta,.
3.Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S, Edisi : 9, EGC ; Jakarta.
4.Kumpulan Kuliah, 2001, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Makassar.

5.Long, Barbara C, 1996, Keperawatan Medikal Bedah; Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi I, Volume 3, Yayasan IAPK Padjajaran, Bandung.
6.Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ; Jakarta.
7.Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.

Baca Selengkapnya......
date

ASKEP PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR TERBUKA
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian
Fraktur terbuka adalah patah tulang dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau pernah berhubungan dengan dunia luar.

2. Etiologi
a. Trauma :
out in : penyebab ruda paksa merusak kulit, jaringan lumak dan tulang.
In out : fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit
b. Patologis ( penyakit pada tulang )
c. Degenerasi spontan

3. Klasifikasi
Menurut Gustilo Anderson, fraktur terbuka dibagi menjadi:
a. Derajat I
b. Derajat II
c. Derajat III :
• III A
• III B
• III C
4. Manifestasi Klinis
Terdapat tanda-tanda patah tulang dengan luka di daerah tersebut. Darah yang keluar berwarna lebih kehitaman, bercampur butiran lemak dan selalu merembes, disertai nyeri dan perdarahan.

5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik
• Look ( lihat ) : warna kulit, pembengkakan, Deformitas.
• Feel ( sentuhan ) : suhu, tegang lokal, nyeri tekan, krepitasi, pulsasi arteri dari distal, dari daerah yang mengalami fraktur.
• Move ( gerak ) : gerak yang abnormal
b. Pemeriksaan Diagnostik
• Dengan sinar X
• Ct Scan tulang

6. Penatalaksanaan
a. Live saving
Ingat ABC
b. Mengurangi nyeri
c. Propilaksis antibiotika & anti tetanus
d. Debridement & irigasi
e. Fixasi & imobilisasi
f . Penutupan luka
g. Rehabilitasi

B. KONSEP DASAR ASKEP DENGAN FRAKTUR TERBUKA

1. Pengkajian
a. Data subjectif
• Mengeluh sakit
• Bebal / kesemutan
• Mengeluh kehilangan fungsi pada bagian yang fraktor
b. Data objectif
• Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian fraktur
• Meringis kesakitan
• Kadang-kadang hipertensi (respon terhadap nyeri)
• Kadang hipotensi
• Takikardi (respon stres, hivopoterta)
• Penurunan atau tidak ada nadi pada bagian distal yang terkena cedera
• Pucat pada bagian cedera
• Bengkak & hematum pada sisi yang cedera
• Krepitasi depormitas lokal
• Laserasi kulit / adanya luka
• Pendarahan

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri badan reflek spasme otot , gerakan prakmen tulang yang patah yang ditandai dengan pasien meringis kesakitan
b. Resiko disfungsi nenro faskurel badan DB konsimuitas jarinya tl / jarinya sekitar
c. Resiko fungsi kerusakan pertukaran gas badan perubahan aliran darah atau emboli lemak.
d. Kerusakan imegritas kulit badan cedera / trauma pada jaringan (fraktur terbaik)

e. Resiko infeksi badan ketidak adekuatan kemampuan primer, sisi masuk organisme sekunder, kerusakan kulit.
f. Kerusakan mobilitas fisik badan kekuatan & ketahanan sekunder akibat fraktur, & nyeri.
g. Kurang pengetahuan badan kurang terpajangnya terhadap informasi, dampak hospitalisasi, kemampuan intelektual yang kecil
h. Pk emboli lemak
i. Pk shock hypovolemik
j. Pk anemi
k. Pk sindrom kompartemen

3. Rencana tindakan evaluasi
a. Diagnosa keperawatan I
Kriteria evaluasi :
• Menyatakan nyeri hilang / terkontrol
• Menunjukan tindakan santai mampu berpartisipasi dalam aktifitas / tidur istirahat dengan cepat.
• Menunjukan panggunaan ketrampilan relaksasi aktifitas terapeutik sesuai motivasi untuk situasi individual.
Interversi :
• Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips
• Tinggikan dan dukung ektremitas yang terkena.
• Evaluasi keluhan nyeri, pertahankan lokasi dan karakteristik nyeri termasuk intervensi (skala 0-10) pertahankan nyeri, non verbal .
• Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan cedera.
• Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage)
• Selidiki adanya keluhan nyeri yang tiba-tiba / buruk tidak hilang dengan analgetik

• Beri kompres dingin es 24 – 48 jam pertama sesuai kemampuan
• Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi

b. Diagnosa keperawatan 2
Kriteria evaluasi :
• Mempertahankan perpusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi ,kulit hangat / kering,sensasi normal,sensasi biasa,tanda vital stabil dan haluaran urine adequat
Intevensi :
• Lepaskan perhiasan dari ektremitas yang sakit
• Evaluasi adanya kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi doppler.
• Kaji aliran darah perifer dengan menusuk pada kedua selaputantara ibu jari pertama dari dan kedua.
• Awasasi posisi atau lokasi cincin penyongkok beban
• Pertahankan peninggian ekstrimitas kecuali dikontraindikasikan
• Kaji keseluruhan panjang ekstrimitas
• Perhatian keluihan nyeri
• Dorong pasien untuknrutin latihan jari atau sendi distal
• Awas tanda vital
• Berikan kompres es sekitar fraktur sesui indikasi
• Beban / buat spalk sesuai dengan kebutuhan

c. Diagnosa keperawatan 3
Kriteria evaluasi :
• Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat dibuktikan oleh tidak adanya dispnea/sianosis, frekuensi pernafasan dan DGA dalam batas normal

Intervensi :
• Awasi frekuensi pernafasan dalam upayanya
• Auskultasi bunyi nafas, perhatikan terjadinya ketidaksamaan bunyi,sesak,mengi,ngorok.
• Instruksikan dan bantu latihan nafas dalam dan batuk.
• Perhatikan peningkatan kegelisahan
• Observasi sputum untuk tanda adanya darah
• Beri tambahan oksigen bila / sesuai indikasi

d. Diagnosa keperawatan 4
Kriteria evaluasi :
• Menyatakan ketidaknyamanan hilang
• Menunjukan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi
• Mencapai penyambutan luka sesuai waktu/penyembuhan luka terjadi
Intervensi :
• Kaji kulit untukluka terbuka, benda asing, kemerahan , perdarahan dan bengkak.
• Ubah posisi dengan sering
• Massage kulit dengan sering
• Rawat luka bekas operasi pemasangan pen
• Lakukan penggunaan gips dan perawatan kulit
• Observasi luka setiap hari

e. Diagnosa keperawatan 5
Kriteria evaluasi :
• Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebes drainage purulen atau eritema dan deman

Intervensi
• Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan
• Kaji sisi pen atau kulit perhatikan keluhan nyeri
• Instruksikan pasien untuk tidak menyebutkan sisi miring
• Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, dan perubahan warna kulit
• Kaji tonus otot, refleks tendon dan kemampuan wicara
• Berikan irigasi luka / tulang dan berikan sabun basah/hangat sesuai indikasi

f. Diagnosa keperawatan 6
Kriteria evaluasi :
• Memperlihatkan penggunaan alat-alat yang adaptif untuk meningkatkan mobilitas
• Menggunakan tindakan pengamanan untuk meminimalkan kemungkinan terhadap cedera
• Memperhatikan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
• Melaporkan adanya peningkatan mobilitas
Intervensi
• Rujuk pada sindrom disuse untuk intervensi pencegahan komplikasi mobilitas
• Ajarkan untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat
• Posisi dalam kesejajaran tubuh untuk mencegah komplikasi
• Berikan mobilisasi progresif secara bertahap
• Ajarkan individu tindakan kewaspadaan keamanan
• Beri dorongan penggunaan lengan yang sakit jika memungkinkan

g. Diagnosa keperawatan 7
Kriteria evaluasi :
• Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan
• Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan
Intervensi :
• Kaji ulang patologis, prognosis dan harapan yang akan datang
• Kaji ulang perawatan pen / luka yang tepat
• Jelaskan setiap prosedur keperawatan yang akan dilaksanakan
• Diskusikan dengan klien hal-hal yang belum jelas
• Berikan informasi yang jelas dan adekuat
h. Pk emboli lemak
• Pantau pernafasan tadicardi, hypertensi, takipnea, demam
i. Pk shock hypovodemik
• Pantau jumlah pendarahan
• Pantu vital sign
j. Pk anemi
• Pantau jumlah pendarahan
k. Pk sindrom kompartemen
• Pantau pendrahan oedem yang menekan otot,saraf, dan pembuluh darah
• Pantau nadi distal yang fraktur

4. Evaluasi
• Ds menyatakan nyeri berkurang / hilang / terkontrol
• Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi , kulit hangat / kering, tanda vital stabil
• Tidak adanya dispnea / sianosis frkuensi nafas & AGD normal
• Luka sembul
• Adanya peningkatan mobilitasn
• Menyatakan pemahaman mobilitas kondisi prognosis & pengobatan

Baca Selengkapnya......
date

ASKEP ULCUS DEKUBITUS
Definisi

Ulkus dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dari bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah.
Ulkus dekubitus adalah ulkus yang ditimbulkan karena tekanan yang kuat oleh berat badan pada tempat tidur.
Luka dekubitus adalah nekrosis pada jaringan lunak antara tonjolan tulang dan permukaan padat, paling umum akibat imobilisasi.

Etiologi
a) Tekanan
b) Kelembaban
c) Gesekan


Patofisiologi
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan). Jaringan yang lebih dalam dekat tulang, terutama jaringan otot dengan suplai darah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah, sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh friksi yang semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban, keadaan ini menyebabkan peregangan dan angggulasi pembuluh darah (mikro sirkulasi) darah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam, ini akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit.

Manifestasi Klinis dan Komplikasi
a) Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari.
b) Pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit.
c) Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih.
d) Dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.

Pemeriksaan Diagnostik
a) Kultur : pertumbuhan mikroorganisme tiruan atau sel – sel jaringan.
b) Albumin serum : protein utama dalam plasma dan cairan serosa lain.

Penatalaksanaan medis
a) Merubah posisi pasien yang sedang tirah baring.
b) Menghilangkan tekanan pada kulit yang memerah dan penempatan pembalut yang bersih dan tipis apabila telah berbentuk ulkus dekubitus.
c) Sistemik : antibiotic spectrum luas, seperti :
Amoxilin 4x500 mg selama 15 – 30 hari.
Siklosperm 1 – 2 gram selama 3 – 10 hari.
Topical : salep antibiotic seperti kloramphenikol 2 gram.

Manajemen Keperawatan
1.Pengkajian
a)Aktivitas/ istirahat
Tanda : penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak.pada area yang sakit gangguannya misalnya otot perubahan tunas.
b) Sirkulasi
Tanda : hipoksia, penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin, pembentukan edema jaringan.
c) Eleminasi
Tanda : keluaran urin menurun adalah tidak adanya pada fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan , bila terjadi, mengidentifiasi kerusakan otot.
d)Makanan/cairan
Tanda : edema jaringan umum, anoreksia, mual dan muntah.
e) Neurosensori
Gejala : area kebas/kesemutan
f) Pernapasan
Gejala :menurunnya fungsi medulla spinalis, edema medulla, kerusakan neurology, paralysis abdominal dan otot pernapasan.
g) Integritas ego
Gejala : masalah keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, mmenarik diri, marah.
h) Keamanan
Tanda : adanya fraktur akibat dilokasi (jatuh, kecelakaan, kontraksi otot tetanik, sampai dengan syok listrik).

2.Diagnosa Keperawatan
1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
2)Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.
3)Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.
4)Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
5)Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.

3.Intervensi dan Implementasi
1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
- Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus.
R : prinsip pencegahan luka dekubitus, meliputi mengurangi atau merotasi tekanan dari jaringan lunak.
- Atur posis pasien senyaman mungkin.
R : meminimalkan terjadinya jaringan yang terkena dekubitus.
- Balut luka dengan balutan yang mempertahankan kelembaban lingkungan diatas dasar luka.
R : luka yang lembab dapat mempercepat kesembuhan.

2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.
- Dukungan mobilisasi ketingkat yang lebih tinggi.
R : gerakan teratur menghilangkan tekanan konsisten diatas tonjolan tulang.
- Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan, seperti mandi.
R : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan control pasien dalam situasi dan peningkatan kesehatan lingkungan.
- Berikan perhatian khusus pada kulit.
R : penelitian menunjukkan bahwa kulit sangat rentan untuk mengalami kerusakan karena konsentrasi berat badan.

3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.
- Beri makan dalm jumlah kecil, sering dan dalam keadaan hangat.
R : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukkan, menambah napsu makan.
- Bantu kebersihan oral sebelum makan.
R : mulut/peralatan bersih meningkatkan napsu makan yang baik.
- Pertahankan kalori yang ketat.
R : pedoman tepat untuk pemasukkan kalori yang tepat.

4) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
- Gunakan tehnik yang tepat selama mengganti balutan.
R : teknik yang baik mengurangi masuknya mikroorganisme pathogen kedalam luka.
 Ukur tanda – tanda vital .
R : peningkatan suhu tubuh, takikardia menunjukkan adanya sepsis.
- Gunakan sarung tangan steril setiap mengganti balutan.
R : setiap ulkus terkontaminasi oleh mikroorganisme yang berbeda, tindakan ini dapat mencegah infeksi.
- Cuci dasar luka dengan larutan NaCl 0,9 %.
R : Dapat membuang jaringan yang mati pada permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme.
- Berikan obat antibiotic sesuai indikasi.
R : antibiotic pilihanpada ulkus dekubitus berguna melawan organisme gram negative dan gram positif.

5) Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.
- Anjurkan tindakan untuk mencegah luka dekubitus.
R : pencegahan luka dekubitus lebih mudah dari pengobatan.
- Anjurkan tindakan untuk mengobati luka dekubitus.
R : instruksi spesifik ini membantu pasien dan keluarga belajar untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah infeksi.

4. Evaluasi
1) Pasien dapat mencegah dan mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus; menunjukkan kemajuan penyembuhan.
2) Pasien mempunyai kulit tanpa neritema dan tidak pucat.
3) Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot.
4) Kulit tidak akan teritasi akibat pemajanan terhadap fekal atau urine drainage.
5) Menunjukkan hasil pembelajaran yang efektif untuk tujuan pemulangan dan perawatan pasien dirumah.

DAFTAR PUSTAKA
Capernito, Linda Juall. 1999. Rencana Diagnosa dan Dokumentasi Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif Ed.2. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan : Pedoman Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Nurachman, Elly. 2001. Nutrisi Dalam Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto.

Baca Selengkapnya......
date

ASKEP PYELONEFRITIS

Definisi
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis kronis.
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tunulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua gunjal (Brunner & Suddarth, 2002: 1436).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J. C. E. Underwood, 2002: 668)

B. Etiologi
1. Bakteri (Escherichia coli, Klebsielle pneumoniac, Streptococus fecalis, dll). Escherichia coli merupakan penyebab 85% dari infeksi (www.indonesiaindonesia.com/f/10918-pielonefritis).
2. Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat
3. Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke dalam ureter.
4. Kehamilan
5. Kencing Manis
6. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk malawan infeksi.

C. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba. Kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual, dan muntah. Pada beberapa kasus juga menunjukkan gejala ISK bagian bawah yang dapat berupa nyeri berkemih dan frekuensi berkemih yang meningkat.
Dapat terjadi kolik renalis, di mana penderita merasakan nyeri hebat yang desebabkan oleh kejang ureter. Kejang dapat terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi. Bisa terjadi pembesaran pada salah satu atau kedua ginjal. Kadang juga disertai otot perut berkontraksi kuat.
Pada pielonefritis kronis, nyerinya dapat menjadi samar-samar dan demam menjadi hilang timbul atau malah bisa tidak ditemukan demam sama sekali.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Whole blood
2. Urinalisis
3. USG dan Radiologi
4. BUN
5. creatinin
6. serum electrolytes

E. Komplikasi
Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut (Patologi Umum & Sistematik J. C. E. Underwood, 2002: 669):
• Nekrosis papila ginjal. Sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis papila guinjal, terutama pada penderita diabetes melitus atau pada tempat terjadinya obstruksi.
• Fionefrosis. Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks mengalami supurasi, sehingga ginjal mengalami peregangan akibat adanya pus.
• Abses perinefrik. Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.

Komplikasi pielonefritis kronis mencakup penyakit ginjal stadium akhir (mulai dari hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan parut), hipertensi, dan pembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai urea, yang mangakibatkan terbentuknya batu) (Brunner&Suddarth, 2002: 1437).
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis menurut Barbara K. Timby dan Nancy E. Smith tahun 2007:
• Mengurangi demam dan nyeri dan menentukan obat-obat antimikrobial seperti trimethroprim-sulfamethoxazole (TMF-SMZ, Septra), gentamycin dengan atau tanpa ampicilin, cephelosporin, atau ciprofloksasin (cipro) selama 14 hari.
• Merilekskan otot halus pada ureter dan kandung kemih, meningkatkan rasa nyaman, dan meningkatkan kapasitas kandung kemih menggunakan obat farmakologi tambahan antispasmodic dan anticholinergic seperti oxybutinin (Ditropan) dan propantheline (Pro-Banthine)
• Pada kasus kronis, pengobatan difokuskan pada pencegahan kerusakan ginjal secara progresif.

2. Penetalaksanaan keperawatan menurut Barbara K. Timby dan Nancy E. Smith tahun 2007:
• Mengkaji riwayat medis, obat-obatan, dan alergi.
• Monitor Vital Sign
• Melakukan pemeriksaan fisik
• Mengobservasi dan mendokumentasi karakteristik urine klien.
• Mengumpulkan spesimen urin segar untuk urinalisis.
• Memantau input dan output cairan.
• Mengevaluasi hasil tes laboratorium (BUN, creatinin, serum electrolytes)
• Memberikan dorongan semangat pada klien untuk mengikuti prosedur pengobatan. Karna pada kasus kronis, pengobatan bertambah lama dan memakan banyak biaya yangdapat membuat psien berkecil hati

G. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut. E. coli menyebabkan sekitar 85% infeksi.
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kalik dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghsilkan fibrosis dan scarring. Pielonefritis kronis muncul stelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratif dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal.

H. Diagnosa Keperawatan
a. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada ginjal.
b. Hipertermi berhubungan dengan respon imunologi terhadap infeksi.
c. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan atau nokturia) yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
d. Nyeri yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
e. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, metode pencegahan, dan instruksi perawatan di rumah.

I. Rencana Keperawatan
A. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada ginjal
Intervensi :
1)Kaji suhu tubuh pasien setiap 4 jam dan lapor jika suhu diatas 38,50 C
Rasional :
Tanda vital menaDefinisi
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis kronis.
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tunulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua gunjal (Brunner & Suddarth, 2002: 1436).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J. C. E. Underwood, 2002: 668)
B. Etiologi
1. Bakteri (Escherichia coli, Klebsielle pneumoniac, Streptococus fecalis, dll). Escherichia coli merupakan penyebab 85% dari infeksi (www.indonesiaindonesia.com/f/10918-pielonefritis).
2. Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat
3. Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke dalam ureter.
4. Kehamilan
5. Kencing Manis
6. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk malawan infeksi.

C. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba. Kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual, dan muntah. Pada beberapa kasus juga menunjukkan gejala ISK bagian bawah yang dapat berupa nyeri berkemih dan frekuensi berkemih yang meningkat.
Dapat terjadi kolik renalis, di mana penderita merasakan nyeri hebat yang desebabkan oleh kejang ureter. Kejang dapat terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi. Bisa terjadi pembesaran pada salah satu atau kedua ginjal. Kadang juga disertai otot perut berkontraksi kuat.
Pada pielonefritis kronis, nyerinya dapat menjadi samar-samar dan demam menjadi hilang timbul atau malah bisa tidak ditemukan demam sama sekali.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Whole blood
2. Urinalisis
3. USG dan Radiologi
4. BUN
5. creatinin
6. serum electrolytes

E. Komplikasi
Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut (Patologi Umum & Sistematik J. C. E. Underwood, 2002: 669):
• Nekrosis papila ginjal. Sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis papila guinjal, terutama pada penderita diabetes melitus atau pada tempat terjadinya obstruksi.
• Fionefrosis. Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks mengalami supurasi, sehingga ginjal mengalami peregangan akibat adanya pus.
• Abses perinefrik. Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.

Komplikasi pielonefritis kronis mencakup penyakit ginjal stadium akhir (mulai dari hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan parut), hipertensi, dan pembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai urea, yang mangakibatkan terbentuknya batu) (Brunner&Suddarth, 2002: 1437).
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis menurut Barbara K. Timby dan Nancy E. Smith tahun 2007:
• Mengurangi demam dan nyeri dan menentukan obat-obat antimikrobial seperti trimethroprim-sulfamethoxazole (TMF-SMZ, Septra), gentamycin dengan atau tanpa ampicilin, cephelosporin, atau ciprofloksasin (cipro) selama 14 hari.
• Merilekskan otot halus pada ureter dan kandung kemih, meningkatkan rasa nyaman, dan meningkatkan kapasitas kandung kemih menggunakan obat farmakologi tambahan antispasmodic dan anticholinergic seperti oxybutinin (Ditropan) dan propantheline (Pro-Banthine)
• Pada kasus kronis, pengobatan difokuskan pada pencegahan kerusakan ginjal secara progresif.

2. Penetalaksanaan keperawatan menurut Barbara K. Timby dan Nancy E. Smith tahun 2007:
• Mengkaji riwayat medis, obat-obatan, dan alergi.
• Monitor Vital Sign
• Melakukan pemeriksaan fisik
• Mengobservasi dan mendokumentasi karakteristik urine klien.
• Mengumpulkan spesimen urin segar untuk urinalisis.
• Memantau input dan output cairan.
• Mengevaluasi hasil tes laboratorium (BUN, creatinin, serum electrolytes)
• Memberikan dorongan semangat pada klien untuk mengikuti prosedur pengobatan. Karna pada kasus kronis, pengobatan bertambah lama dan memakan banyak biaya yangdapat membuat psien berkecil hati

G. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut. E. coli menyebabkan sekitar 85% infeksi.
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kalik dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghsilkan fibrosis dan scarring. Pielonefritis kronis muncul stelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratif dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal.

H. Diagnosa Keperawatan
a. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada ginjal.
b. Hipertermi berhubungan dengan respon imunologi terhadap infeksi.
c. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan atau nokturia) yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
d. Nyeri yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
e. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, metode pencegahan, dan instruksi perawatan di rumah.

I. Rencana Keperawatan
A. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada ginjal
Intervensi :
1)Kaji suhu tubuh pasien setiap 4 jam dan lapor jika suhu diatas 38,50 C
Rasional :
Tanda vital menandakan adanya perubahan di dalam tubuh
2)Catat karakteristik urine
Rasional :
Untuk mengetahui/mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
3)Anjurkan pasien untuk minum 2 – 3 liter jika tidak ada kontra indikasi
Rasional :
Untuk mencegah stasis urine
4)Monitor pemeriksaan ulang urine kultur dan sensivitas untuk menentukan respon terapi.
Rasional :
Mengetahui seberapa jauh efek pengobatan terhadap keadaan penderita.
5)Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih secara komplit setiap kali kemih.
Rasional :
Untuk mencegah adanya distensi kandung kemih
6)Berikan perawatan perineal, pertahankan agar tetap bersih dan kering.
Rasional :
Untuk menjaga kebersihan dan menghindari bakteri yang membuat infeksi uretra

B. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan atau nokturia) yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Intervensi :
1)Ukur dan catat urine setiap kali berkemih
Rasional :
Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/out put
2)Anjurkan untuk berkemih setiap 2 – 3 jam
Rasional :
Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
3)Palpasi kandung kemih tiap 4 jam
Rasional :
Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
4)Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal
Rasional :
Untuk memudahkan klien di dalam berkemih.
5)Bantu klien mendapatkan posisi berkemih yang nyaman
Rasional :
Supaya klien tidak sukar untuk berkemih.

C. Nyeri yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Intervensi :
1)Kaji intensitas, lokasi, dan factor yang memperberat atau meringankan nyeri.
Rasional :
Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi
2)Berikan waktu istirahat yang cukup dan tingkat aktivitas yang dapat di toleran.
Rasional :
Klien dapat istirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot
3)Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontra indikasi
Rasional :
Untuk membantu klien dalam berkemih
4)Berikan obat analgetik sesuai dengan program terapi.
Rasional :
Analgetik memblok lintasan nyeri

D. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, metode pencegahan, dan instruksi perawatan di rumah.
Intervensi :
1)Kaji tingkat kecemasan
Rasional :
Untuk mengetahui berat ringannya kecemasan klien
2)Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional :
Agar klien mempunyai semangat dan mau empati terhadap perawatan dan pengobatan
3)Beri support pada klien
Rasional :
4)Beri dorongan spiritual
Rasional :
Agar klien kembali menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan YME.Beri support pada klien
5)Beri penjelasan tentang penyakitnya
Rasional :
Agar klien mengerti sepenuhnya tentang penyakit yang dialaminya.

E. Hipertermi berhubungan dengan respon imunologi terhadap infeksi.
Intervensi:
1) Pantau suhu
Rasional:
Tanda vital dapat menandakan adanya perubahan di dalam tubuh.
2) Pantau suhu lingkungan
Rasional:
Suhu ruangan dan jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3) Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antipiretik
Rasional:
Mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus
Diposkan oleh Tulus Andi di 08:58
0 komentar:
Poskan
ndakan adanya perubahan di dalam tubuh
2)Catat karakteristik urine
Rasional :
Untuk mengetahui/mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
3)Anjurkan pasien untuk minum 2 – 3 liter jika tidak ada kontra indikasi
Rasional :
Untuk mencegah stasis urine
4)Monitor pemeriksaan ulang urine kultur dan sensivitas untuk menentukan respon terapi.
Rasional :
Mengetahui seberapa jauh efek pengobatan terhadap keadaan penderita.
5)Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih secara komplit setiap kali kemih.
Rasional :
Untuk mencegah adanya distensi kandung kemih
6)Berikan perawatan perineal, pertahankan agar tetap bersih dan kering.
Rasional :
Untuk menjaga kebersihan dan menghindari bakteri yang membuat infeksi uretra

B. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan atau nokturia) yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Intervensi :
1)Ukur dan catat urine setiap kali berkemih
Rasional :
Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/out put
2)Anjurkan untuk berkemih setiap 2 – 3 jam
Rasional :
Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
3)Palpasi kandung kemih tiap 4 jam
Rasional :
Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
4)Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal
Rasional :
Untuk memudahkan klien di dalam berkemih.
5)Bantu klien mendapatkan posisi berkemih yang nyaman
Rasional :
Supaya klien tidak sukar untuk berkemih.

C. Nyeri yang berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Intervensi :
1)Kaji intensitas, lokasi, dan factor yang memperberat atau meringankan nyeri.
Rasional :
Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi
2)Berikan waktu istirahat yang cukup dan tingkat aktivitas yang dapat di toleran.
Rasional :
Klien dapat istirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot
3)Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontra indikasi
Rasional :
Untuk membantu klien dalam berkemih
4)Berikan obat analgetik sesuai dengan program terapi.
Rasional :
Analgetik memblok lintasan nyeri

D. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, metode pencegahan, dan instruksi perawatan di rumah.
Intervensi :
1)Kaji tingkat kecemasan
Rasional :
Untuk mengetahui berat ringannya kecemasan klien
2)Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional :
Agar klien mempunyai semangat dan mau empati terhadap perawatan dan pengobatan
3)Beri support pada klien
Rasional :
4)Beri dorongan spiritual
Rasional :
Agar klien kembali menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan YME.Beri support pada klien
5)Beri penjelasan tentang penyakitnya
Rasional :
Agar klien mengerti sepenuhnya tentang penyakit yang dialaminya.

E. Hipertermi berhubungan dengan respon imunologi terhadap infeksi.
Intervensi:
1) Pantau suhu
Rasional:
Tanda vital dapat menandakan adanya perubahan di dalam tubuh.
2) Pantau suhu lingkungan
Rasional:
Suhu ruangan dan jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3) Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antipiretik
Rasional:
Mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

Baca Selengkapnya......
date

ASKEP STRUMA
1.

Pengertian struma nodosa non toksik

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.

(Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).

Anatomi kelenjar tyroid

Kelenjar tyroid mempunyai dua lobus, struktur yang kaya vaskularisasi, lobus terletak di sebelah lateral trakea tepat dibawah laring dan dihubungkan dengan jembatan jaringan tiroid, yang disebut isthmus, yang terlentang pada permukaan anterior trakea. Secara mikroskopik, tiroid terutama terdiri atas folikel steroid, yang masing – masing menyimpan materi koloid dibagian pusatnya. Folikel memproduksi, menyimpan dan mensekresi kedua hormon utama T3 (triodotironin) dan T4 (tiroksin). Jika kelenjar secara aktif mengandung folikel yang besar, yang masing – masing mempunyai jumlah koloid yang disimpan dalam jumlah besar sel – selnya, sel – sel parafolikular mensekresi hormon kalsitonin. Hormon ini dan dua hormon lainnya mempengaruhi metabolisme kalsium. Hormon – hormon ini akan dibicarakan kemudian.

1.

Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :

1.
1.

Defisiensi iodium

Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.

1.
1.

Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.

Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).

Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).

1.

Patofisiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

1.

Gejala-gejala

Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.

1.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul dan tidak toksik, melalui :

1.
1.

Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3 (triyodotironin) dalam batas normal.

Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.

Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman.

Pencegahan

Penatalaksanaan

Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat.

Edukasi

Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.

Penyuntikan lipidol

Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.

1.
1.

Tindakan operasi

Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.

Konsep Asuhan Keperawatan

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan pedoman asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien secara ilmiah dan sistematis yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

1.

Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :

1.
1.

Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.

Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.

Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.

Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid, goiter.

Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.

Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).

Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.

Langkah selanjutnya adalah penentuan diagnosa keperawatan yang merupakan suatu pernyataan dan masalah pasien secara nyata maupun potensial berdasarkan data yang terkumpul. Diagnosa keperawatan pada pasien dengan struma nodosa nontoksis khususnya post operai dapat dirumuskan sebagai berikut ;

Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.

Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.

1.

Perencanaan keperawatan/intervensi

Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah pasien sesuai diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan pasien. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang diuraikan di atas, maka disusunlah rencana keperawatan/intervensi sebagai berikut :

1.
1.

Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.

Tujuan yang ingin dicpai sesuai kriteria hasil :

Mempertahankan jalan nafas paten dengan mencegah aspirasi.

Rencana tindakan/intervensi

Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.

Rasional :

Pernafasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi berkembangnya distres pada pernafasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau perdarahan.

Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi.

Rasional :

Ronchi merupakan indikasi adanya obstruksi.spasme laringeal yang membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.

Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.

Rasional :

Indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan evaluasi dan intervensi segera.

Waspadakan pasien untuk menghindari ikatan pada leher, menyokog kepala dengan bantal.

Rasional :

Menurunkan kemungkinan tegangan pada daerah luka karena pembedahan.

Bantu dalam perubahan posisi, latihan nafas dalam dan atau batuk efektif sesuai indikasi.

Rasional :

Mempertahankan kebersihan jalan nafas dan evaluasi. Namun batuk tidak dianjurkan dan dapat menimbulkan nyeri yang berat, tetapi hal itu perlu untuk membersihkan jalan nafas.

Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat warna dan karakteristik sputum.

Rasional :

Edema atau nyeri dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mengeluarkan dan membersihkan jalan nafas sendiri.

Lakukan penilaian ulang terhadap balutan secara teratur, terutama pada bagian posterior

Rasional :

Jika terjadi perdarahan, balutan bagian anterior mungkin akan tampak kering karena darah tertampung/terkumpul pada daerah yang tergantung.

Selidiki kesulitan menelan, penumpukan sekresi oral.

Rasional :

Merupakan indikasi edema/perdarahan yang membeku pada jaringan sekitar daerah operasi.

Pertahankan alat trakeosnomi di dekat pasien.

Rasional :

Terkenanya jalan nafas dapat menciptakan suasana yang mengancam kehidupan yang memerlukan tindakan yang darurat.

Pembedahan tulang

Rasional :

Mungkin sangat diperlukan untuk penyambungan/perbaikan pembuluh darah yang mengalami perdarahan yang terus menerus.

1.
1.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.

Rencana tindakan/intervensi

Kaji fungsi bicara secara periodik.

Rasional :

Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.

Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.

Rasional :

Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.

Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas tulis/papan gambar.

Rasional :

Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.

Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungan pasien secara teratur.

Rasional ;

Menurunnya ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunias.

Beritahu pasien untuk terus menerus membatasi bicara dan jawablah bel panggilan dengan segera.

Rasional :

Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan kebutuhan yang diketahui/memerlukan bantuan.

Pertahankan lingkungan yang tenang.

Rasional :

Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan.

1.
1.

Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.

Rencana tindakan/intervensi

Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).

Rasional :

Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.

Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.

Rasional :

Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama pembedahan.

Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.

Rasional :

Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.

Memantau kadar kalsium dalam serum.

Rasional :

Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.

Kolaborasi

Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).

Rasional ;

Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.

1.
1.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.

Rencana tindakan/intervensi :

Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.

Rasional :

Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.

Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal pasir/bantal kecil.

Rasional :

Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.

Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan posisi. Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk menyokong leher selama pergerakan dan untuk menghindari hiperekstensi leher.

Rasional :

Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.

Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang mudah.

Rasional :

Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.

Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.

Rasional :

Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.

Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik yang lembut, relaksasi progresif.

Rasional :

Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.

Kolaborasi

Beri obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai kebutuhannya.

Berikan es jika ada indikasi

Rasional :

Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap nyeri.

1.
1.

Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan tidak mengungkapkan secara terbuka/mengingat kembali, setelah menginterpretasikan konsepsi.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan penanganannya, berpartisipasi dalam program pengobatan, melakukan perubahan gaya hidup yang perlu.

Rencana tindakan/intervensi :

Tinjau ulang prosedur pembedahan dan harapan selanjutnya.

Rasional ;

Member pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat keputusan sesuai informasi.

Diskusikan kebutuhan diet yang seimbang, diet bergizi dan bila dapat mencakup garam beriodium.

Mempercepat penyembuhan dan membantu pasien mencapai berat badan yang sesuai dengan pemakaian garam beriodium cukup.

Hindari makanan yang bersifat gastrogenik, misalnya makanan laut yang berlebihan, kacang kedelai, lobak.

Rasional :

Merupakan kontradiksi setelah tiroidiktomi sebab makanan ini menekan aktivitas tyroid.

Identifikasi makanan tinggi kalsium (misalnya : kuning telur, hati)

Rasional :

Memaksimalkan suplay dan absorbsi jika fungsi kelenjar paratiroid terganggu.

Dorong program latihan umum progresif

Rasional :

Latihan dapat menstimulasi kelenjar tyroid dan produksi hormon yang memfasilitasi pemulihan kesejahteraan.

1.

Pelaksanaan keperawatan

Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah dilibatkan tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah sakit.

1.

Evaluasi

Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai tingkat keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.

Dari rumusan seluruh rencana keperawatan serta impelementasinya, maka pada tahap evaluasi ini akan difokuskan pada :

1.

Apakah jalan nafas pasien efektif?
2.

Apakah komunikasi verbal dari pasien lancar?
3.

Apakah tidak terjadi tanda-tanda infeksi?
4.

Apakah gangguan rasa nyaman dari pasien dapat terpenuhi?
5.

Apakah pasien telah mengerti tentang proses penyakitnya serta tindakan perawatan dan pengobatannya?

Sumber:

1.

Brunner dan Suddarth, (2001) Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 2, penerbit EGC.
2.

Guyton, C. Arthur, (1991), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Missisipi; Departemen of Physiology and Biophysis. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
3.

Junadi, Purnawan,(2000), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke III, penerbit FKUI, Jakarta.
4.

Long, Barbara C, (1996), Keperawatan Medikal Bedah, EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
5.

Price, Sylvia A,(1998). Patofisiologi, jilid 2, penerbit EGC, Jakarta.
6. Tucker, Susan Martin(1998), Standar Perawatan Pasien, Penerbit buku kedokteran, EGC. Jakarta.

Baca Selengkapnya......
date